Sunday, January 8, 2012
Membunuh Malam
Kau teriakkan "angin,,angin,,angin." Lalu matamu merebakkan tetesan air mata. Setelah usai kau hentikan tangismu, kau berucap kembali "angin,,angin,,angin."
Saat itu aku hanya terdiam, menatapmu, menelaah setiap gerak gerikmu, bertanya mengapa? Kau pun hanya terdiam, melihat aku yang mencoba duduk di sisimu, untuk sekedar menemanimu, tak berucap dan mungkin berusaha memelukmu pun tidak.
Kutemani dirimu dalam rengkukanmu, kau hanya terdiam sembari kadang air mata menetes dari mata elangmu itu. Ya, seperti itu setiap hari. Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, hingga berbulan - bulan. Kita terdiam. Kau sibuk bercucuran air mata dan meneriakkan angin, dan aku sibuk mendengarkan segala kata dalam diammu, cukup duduk disampingmu, tanpa berusaha memelukmu.
Sampai pada suatu ketika, kau beranikan diri untuk berhenti dari kebiasaan bercucuran air matamu. Kau menatapku untuk pertama kalinya, dan satu kata kau ucap "Bintang..". Aku hanya mengernyitkan dahi, tak pernah bisa mengerti, isi pikirmu dan ego yang tumbuh dalam dirimu. Satu kesimpulan, kau dekat dengan alam atau mungkin merasa ingin dekat dengan alam. Aroma kebebasan yang mungkin selama ini kau rindukan. Kebebasan yang terkungkung dalam tirani bernafaskan pengharapan. Serumit itukah dirimu?
Akhirnya enam bulan berlalu, kau masih menatapku dan mengucapkan bintang sembari kadang kau bercucuran air mata dan mengucapkan angin. Kosong. Jiwamu mati. Hatimu terkubur hidup - hidup dalam egomu. Tiba - tiba kau berkata "Bunuh aku, sekian kali kucoba mengakhiri hidup, aku selalu tak sanggup. Bunuh aku, bunuh aku sekarang" tatapan kosongmu mengiba. "Jangan, hidupmu masih panjang, bukankah mati adalah awal dari segalanya?" jawabku kepadamu. "Bunuh aku, bunuh aku segera, agar aku bisa mengawalinya dengan segera pula." kau menimpaliku. "Aku takkan sanggup, aku takkan bisa." kuhindari tatapanmu yang mengiba itu. Aku hanya terdiam, tak mampu berpikir, apa yang lebih baik untukmu, kau sangat pandai berbicara, mencari celah yang ada, hingga ku tak mampu menolak maumu. Sekejap saja, kau arahkan sebelah pisau tepat di dada kiriku "Aku yang mati atau kau yang mati" itu ancammu. Kau membuatku tak bisa mengelak, kau membuatku terdesak, kau membuatku cepat memutar otak, tak bisa berpikir panjang, tak bisa berlogika. Sebelum kujawab tanyamu, sudah kutarik pemicu senapan genggamku lebih dulu. "Selamat datang pada kedamaian Malam, sesuai pintamu. Selamat datang pada dunia awal segalanya."
Kutinggalkan dirimu yang tergeletak dengan sedikit luka di dada kirimu, kulakukan ini karena aku mencintaimu, kau ingin mati dan aku suka membunuh, kita serasi bukan?
a week of 2012

So what’s the resolution? Hahaa. Tahun baru selalu identic dengan resolusi, semuanya berharap menjadi lebih, lebih baik, lebih kaya, lebih bahagia, lebih sehat dan lebih bla bla bla lainya :D. pastilah! Siapa sih yang tidak menginginkan kehidupan yang lebih baik, setiap orang pasti menginginkannya, dan selalu mengupayakan untuk mendapatkannya, benar bukan? Atau bukan benar? :p
So what’s mine? Just like the other people, better life, but now I don’t describe it well. Jujur, bosen sendiri, hahaha. Bikin resolusi tiap tahunnya, dan selalu tidak semuanya tercapai. Ya Alhamdulillah masih ada yang tercapai sih, daripada tidak sama sekali.
Mungkin untuk tahun ini, setiap hari harus menjadi tahun baru :D agar tiap hari kita selalu memperbaiki diri untuk kehidupaan dan penghidupan yang lebih baik pula. Mungkin seperti itu lebih tepatnya. Mengejar sederetan mimpi yang masih di angan – angan, berusaha keras, berdoa dan bertawakal untuk hasilnya. J
Not much I want to share, intinya tahun baru itu biasa saja, karena yang terpenting kita harus selalu beresolusi tiap harinya, agar kita juga membaik tiap harinya :)
Sunday, January 1, 2012
Saturday, December 31, 2011
last day in monochrome
This is what in my head when I'm gonna wear some clothes in a half formal occasion :)
![]() |
![]() |
![]() |
i bought the blazer in Minimal, the bag in Matahari dept. Store, the shoes is made by my friend Bucket Shop.
Thursday, December 29, 2011
Mereka yang Tak Berdosa
Wajah polosnya, senyum lugunya, teriakan agresifnya, hiperaktif gerakannya, tangisan manjanya, rengekan saat mereka berebut mainan.
Tatapan pengharapan sedikit kasih sayang, kerinduan hangatnya sentuhan seorang ibu, keinginan untuk mendapat belaian mesra seorang ayah. Musnah sudah. Ketika dua orang manusia yang tak bertanggungjawab berusaha membuat mereka, dan begitu mereka terlahir, dengan mudahnya melepaskannya.
Dimana fase pertumbuhan mereka yang seharusnya terpenuhi, mereka dipaksakan untuk ‘dewasa’ bahwa realita memang terlalu kejam menantang untuk dijalani sendiri secara mandiri. Ironi.
Menjadi pribadi yang agresif dan keras karena jarang ada kelembutan yang menyentuh mereka. Manja? Mungkin kata itu yang tak pernah terlintas di otak mereka.
Mereka kehilangan kasih sayang yang layak, mereka kehilangan kehangatan yang seharusnya ada, mereka kehilangan hak pangan, mereka kehilangan masa pendidikan terbaik yang bisa mereka tempuh. Lalu tanggung jawab siapa? Pemerintah? Dinas sosial? Era globalisasi? Teknologi informasi yang terlalu cepat menyebar? Agama? Alim ulama? Para pengkhotbah? Atau apa?
Dengan mudahnya, meninggalkan mereka di rumah sakit, dengan mudahnya menitipkan mereka dan tak pernah menjenguknya sekalipun? Apakah kamu menyebut dirimu manusia? Dimana hati nuranimu? Kalian yang membuat mereka terlahir dan mana tanggung jawabmu? Pernahkah terpikir olehmu kalau kamu menjadi mereka?
Akankah kamu terus menerus melakukan hal yang tidak bisa kamu pertangunggjawabkan nantinya? Akankah kamu bisa bertanggungjawab jika memang lahir darimu seorang bayi dan kamu tidak yakin bisa merawatnya? Akankah kamu terus menerus menciptakan generasi tak berdosa seperti mereka? Ulahmu. Tanggung jawabmu.
Sunday, December 18, 2011
Hitam, Metal dan jilbab

Saturday, December 17, 2011
when they are getting so old
